Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algemene Beginzedvan
Behoulijk Bestures/General Prinsiple Of Good Administration)
Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur penting dalam suatu
negara. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor
penentu krisis nasional dan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia
bersumber dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan, terutama birokrasi,
yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan jembatan antara norma hukum dan
norma etika. Asas-asas tersebut ada yang tertulis dan tidak tertulis. Asas ini
sebagai perwujudan pemerintahan yang baik, baik dari sistem dan pelaksanaan
pemerintahan. Pada awalnya dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara
untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada
kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari
peraturan yang berlaku sehingga merugikan masyarakat luas. Oleh sebab itu perlu
adanya asas-asas untuk membatasi dari wewenang administrasi tersebut sehingga
terhindar dari pelampauan wewenang.Dalam Perundangan-undangan formal kita yang
tertulis dalam sebuah naskah UU. Di dalam UU sudah ada mengatur tentang
asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu dalam UU RI No. 28 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, UU RI No. 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dan UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Di dalam UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas umum pemerintah yang Asas Umum
Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma
kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam Pasal 3 UU RI No. 28 Tahun 1999 Poin 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 di jelaskan
tentang asas umum penyelenggaraan negara yaitu sebagai berikut :
1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara. Maksudnya asai ini menhendaki dihormatinya hak yang telah
diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi
negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara
Negara.
3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini
menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu.
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut UU RI No. 32 Tahu 2004 tentang pemerintah daerah bagian kedua tentang
asas penyelenggaraan pemerintahan Pasal 20 angka 1 dipaparkan tentang Penyelenggaraan
pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri
atas:
a. Asas kepastian hukum adalah dalam rangka negara hukum yang mengutamakan
landasan peratruan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
b. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang landasan keteraturan,
keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
c. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
e. Asas proporsionalitas adalah asas mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Asas efisiensi; dan
i. Asas efektivitas.
Berdasarkan peraturan peundangan-undangan di atas diharapkan tidak adanya
pelampauan kewenangan pejabat administrasi negara dalam mengeluarkan segala
keputusan-keputusan yang berkaitan kepentian hukum sehingga akan tercapainya
pemerintahan yang baik. Apabila terjadinya pelampauan kewenangan oleh pejabat
administrasi negara, di dalam UU RI No. 5 Tahun 1986 tenteng PTUN (Peradilan Tata
Usaha Negara), itu dimaksudkan bahwa ketika ada sengketa antara pejabat
administrasi negara dengan masyarakat maka dalam menyelesaikan sengketa dibuat
suatu peradilan hukum yaitu PTUN.
Diluar dari hukum tertulis atau hukum formal ada asas hukum tidak tertulis yang
menunjang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik yaitu
1. Asas Persamaan, bahwa hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.
2. Asas Kepercayaan, menuntut supaya badan pemerintahan terikat pada janjinya.
3. Asas Kepastian hukum, adanya kepastian hukum pejabat administrasi negara
dalam mengeluarkan segalah keputusan.
4. Asas Kecermatan, bahwa segala ketusan yang diambil harus dipersiapkan dan
diambil dengan cermat.
5. Asas Pemberian alasan, bahwa segala keputusan harus dapat didukung oleh alas
an-alasan yang dijadikan dasarnya.
6. Larangan Penyalahgunaan Wewenang, bahwa segala wewenang yang diberikan tidak
boleh untuk tujuan lain.
7. Larangan Bertindak Sewenang-wenang, bahwa segala keputusan yang diambil
tidak boleh bertentangan.
Dari mana dari asas ini dipergunakan dalam keadaan tertentu dapat ditarik
aturan-aturan yang dapat diterapkan. Dalam perkembangan praktek khusus melalui
putusan peradilan, asas-asas umum pemerintah yang abik terdapat 13 asas yaitu
sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas keseimbangan;
3. Asas kesamaan;
4. Asas bertindak cermat;
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan;
6. Asas jangan mencampur-adukan kewenangan;
7. Asas permainan yang layak;
8. Asas keadilan atau kewajaran;
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar;
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup;
12. Asas kebijaksanaan;
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.
Dalam Hukum Acara Pidana tidak semua kasus yang disidik oleh penyidik
dilanjutkan ke pengadilan, ini bisa terjadi dalam beberapa hal. Apabila tidak
menemukan alat bukti yang cukup, penyidik menerbitkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).
Apabila penyidik menemukan alat bukti yang cukup, hasil penyidikan
dilimpahkan ke penuntut umum, ternyata perbuatan tersangka terbukti-peristiwa
hukum itu bukan merupakan tindak pidana- penuntut umum harus menghentikan
penuntutan, menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3). Demikian
juga apabila hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang telah memenuhi
alat bukti yang cukup, peristiwa hukum yang disidik itu merupakan tindak
pidana, dan penuntut umum sependapat dengan penyidik, penuntut umum bisa tidak
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan, dengan melakukan penutupan perkara
demi kepentingan hukum. Langkah lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum
untuk tidak melimpahkan hasil penyidikan ke pengadilan adalah pengenyampingan
perkara demi kepentingan umum.
Penyampingan perkara demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada
masa Orrde Baru pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan
pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke
penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, jaksa agung menggunakan hak
oportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi
kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.
Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam mengenyampingkan
perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan
diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan
masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak
kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain,
jadi pertimbagnagn dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah pertimbagan
kepentingan umum dalam aspek politik negara.
Salah satu penyebab dari jarang diterapkannya penyampingan perkara demi
kepentingan umum ialah belum adanya definisi dan pengertian yang baku dari
kepentingan umum.
Belum ada kesepakatan di antara para intelektual hukum mengenai definisi
dari kepentingan umum, demikian juga belum ada acuan yuridis dari pengertian
kepentingan umum yang bisa dijadikan dasar bagi pembuat keputusan (jaksa agung)
untuk mewujudkan asas oportunitas ini.
Untuk menjawab hal itu, perlu perumusan yuridis dari apa yang dimaksud
dengan “kepentingan umum”.
“Kepentingan umum” dalam konteks asas oportunitas.
Dalam Hukum Pidana Formil kita mengenal asas oportunitas diaplikasikan dalam
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, pasal 35 (c) yang berbunyi : Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang “mengenyampingkan perkara demi kepentingan
umum”.
Kemudian dalam penjelasannya disebutkan “Kepentingan Umum” sebagai
kepentingan bangsa/negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Akan tetapi,
penjelasan ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi
serta batasan dari “kepentingan negara”, “kepentingan bangsa”, atau
“kepentingan masyarakat secara luas” dimaksud, dengan demikian mengundang
penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi hukum,
maupun masyarakat pada umumnya.
Dari segi etimologis-ilmu bahasa- secara letterlike/harfiah, frase
kepentingan umum menurut kamus bahasa Indonesia yang disusun oleh M.B. Ali dan
T. Deli, kepentingan (berasal dari kata penting), mengandung pengertian sangat
perlu, sangat utama (diutamakan), sedangkan kata umum mengandung pengertian
keseluruhan, untuk siapa saja, khayalak manusia, masyarakat luas, lazim.
Pengertian menurut ilmu bahasa ini sudah barang tentu tidak dapat dijadikan
pengertian yuridis dari kata kepentingan umum, tetapi dapat dijadikan referensi
untuk menemukan pengertian yang diinginkan, sebab ilmu hukum (yuridische kunde)
di dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan sendiri
lepas dari ilmu sosial yang lainnya, tetapi saling mendukung, berjalan bersama
dengan ilmu pengetahuan lain, termasuk ilmu bahasa (etimologis).
Kepentingan arti lainnya adalah sangat pelu, sangat utama (diutamakan), jadi
pengertian kepentingan salah satunya adalah diutamakan.
Yang jadi pertanyaan berikutnya kepentingan umum di bidang apa? Karena yang
dimaksud dalam penjelasan Pasal 35 (c) UU No.16 Tahun 2004, kepentingan umum
adalah kepentingan negara/bangsa dan masyarakat luas. Jadi kepentingan umum di
sini harus diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut
kepentingan hajat hidup masyarakat yang luas. Kalau demikian pengertiannya,
akamn meliputi aspek-aspek antara lain: ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, keadilan, HAM, agama, yang mempunyai
cakupan yang luas. Jadi demi kepentingan umum (publik) bukan kepentingan pribadi/kelompok
(private).